TRADISI RAYO ANAM MANJALANG BUYA LUBUK LANDUR
Tradisi
Manjalang Buya Lubuak Landua yang diselenggarakan setiap tahunnya sejak 1930
masehi, berlangsung meriah di Lubuk Landur, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera
Barat, Minggu 6 April 2025.
Pada
tradisi mengunjungi tokoh ulama aliran Tariqat Naqsyabandi setiap usainya
pelaksanaan prosesi Hari Raya Idul Fitri atau yang biasa diistilahkan oleh
penganut tariqat tersebut dengan sebutan 'Hari Rayo Anam', yang dilaksanakan
setelah melaksanakan puasa sunat 6 hari setelah 1 Syawal itu, dihadiri oleh
Bupati Pasaman Barat, H. Yulianto, S.H., M.M. dan Wakil Bupati Pasaman Barat, H.M.Ihpan.
Pada kesempatan itu, dua tokoh pemerintahan itu mengikuti prosesi iring-iringan Bundo Kanduang
Manjujuang Jamba dengan berjalan kaki dari kantor Wali Nagari Aua Kuniang
hingga Surau Buya Lubuak Landua Aua Kuniang,
Kecamatan Pasaman. Pada kesempatan itu, Bupati Yulianto atas nama Pemerintah
Daerah mengucapkan terima kasih, kepada masyarakat Lubuak Landua Aua Kuniang
yang selalu melaksanakan tradisi Manjalang Buya setiap tahunnya. Ia juga
berharap, tradisi itu diwariskan hingga anak cucu kemenakan. "Pada
kesempatan ini kita berdoa kekompakan seperti ini di bawah bimbingan niniak
mamak, tradisi Manjalang Buya setelah puasa anam masih dilaksanakan hingga hari
ini," sebutnya.
Bagi
orang Minang, khususnya di Pasaman Barat, mejalang Buya bukan sekadar
silaturahmi. Ini adalah ziarah hati, kunjungan penuh makna kepada sosok yang
dihormati dan dijadikan panutan: Buya-sebutan untuk tokoh agama atau
ulama, yang dianggap sebagai orang tua spiritual dan penjaga nilai adat serta
agama. Dan di Lubuk Landur, tradisi ini masih hidup, tumbuh, dan dirawat dengan
cinta. Aku mengikuti rombongan kecil dari kaum ibu Nagari Aek Nabirong,
tetangga dekat Lubuk Landur. Mereka membawa jamba-nampan besar berisi
aneka makanan yang ditutup rapi dengan kain batik. Ada rendang, gulai cancang,
lapek bugih, dan tak ketinggalan air sirup merah manis yang selalu hadir dalam
setiap acara penting. “Alah satu tahun awak ndak mejalang ka Buya. membuek
awak rindu bana, kini datanglah waktunyo” kata Uni Yus, perempuan paruh
baya yang tampak paling bersemangat di antara rombongan. Ia bahkan membawa satu
jamba khusus yang ia siapkan sendiri sejak seminggu lalu. "Buya tu
lapeh rindu awak yang paling dalam."
Kami berjalan kaki, menyusuri
jalan, melewati sungai kecil. Anak-anak ikut serta, tertawa-tawa, beberapa di
antaranya membawa pupuik tanduak, alat musik tiup tradisional dari
bambu. Di belakang, para lelaki membawa rebana. Ini bukan sekadar kunjungan,
ini seperti pulang ke rumah setelah lama terpisah. Sesampainya di rumah Buya,
yang berada di pinggir surau tua, kami disambut hangat oleh keluarga Buya dan
para santri. Buya sendiri, meskipun usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun,
masih terlihat segar. Ia duduk di kursi rotan, mengenakan jubah putih dan
surban hijau yang melingkar di lehernya. Tatapannya teduh, penuh wibawa tapi
juga mengayomi. Senyum beliau membuat semua orang seakan kembali menjadi
anak-anak yang rindu pelukan ayah. Satu per satu, kami menyalami beliau.
Beberapa orang mencium tangan Buya sambil meneteskan air mata. Tak sedikit yang
berbisik lirih, memohon doa dan petunjuk. Buya tak pernah menolak. Ia akan
meletakkan tangan di kepala, membacakan doa pendek dalam bahasa Arab, lalu
menyelipkan petuah-petuah bijak yang menusuk hati tapi menenangkan.
“Nak,
hidup indak ameh dek harta, indak gadang dek pangkat. Tapi indak ternilai kalau
ang hati bersih dan jujur. Jago agama, jago adat, baru ang bisa manjadi urang
awak yang saisuak dipuji.”
Petuah
seperti itu sudah sering aku dengar, tapi saat keluar dari mulut Buya, rasanya
beda. Seolah menyentuh langsung bagian paling dalam dari diriku. Setelah semua
rombongan tiba, acara mejalang dimulai. Para tamu duduk bersila di
lantai, dan jamba-jamba makanan disusun rapi di tengah. Tapi sebelum makan,
seperti biasa, Buya akan memberikan tausiah. Kali ini, beliau bicara tentang
pentingnya menjaga adat dalam balutan agama.
“Anak-anak
ambo, urang Minang tu punyo dua tali nan ka talatak. Satu tali adat, satu tali
agama. Kalok salah satu talatak, indak lapeh tampek batido.”
Suaranya
pelan tapi tegas. Setiap kata seakan terpatri di dada para pendengarnya. Di
tengah dunia yang makin cepat dan individualistis, kata-kata Buya seperti
jangkar yang menahan nilai-nilai luhur agar tak hanyut.
Setelah
tausiah, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Tradisi ini dikenal dengan makan
bajamba. Kami duduk berkelompok, berbagi nasi, lauk, dan cerita. Tawa pecah
di mana-mana, aroma rendang menyatu dengan udara kampung, dan hati kami terasa
penuh-bukan hanya karena perut kenyang, tapi karena hangatnya kebersamaan. Usai
makan, anak-anak santri menampilkan pertunjukan salawat dulang, tradisi
membaca puji-pujian sambil memukul dulang besar. Irama dan syairnya menggema di
halaman rumah Buya. Beberapa orang tua tampak menitikkan air mata-mungkin
karena rindu masa lalu, atau karena bangga tradisi ini masih bisa dinikmati
oleh generasi muda. Menjelang sore, satu per satu rombongan pamit. Tapi sebelum
pulang, seperti biasa, Buya membagikan air doa dan daun sirih yang sudah
dibacakan zikir.
“Untuk
penolak bala,” katanya sambil tersenyum. Semua menerimanya dengan hormat,
seperti menerima berkah dari langit.
Uni Yus menggenggam erat air doa itu. “Indak bisa diganti dek obat manapun. Ini, doa dari Buya, jadi pelindung untuk kami di rumah.” Perjalanan pulang kami sunyi. Bukan karena tak ada lagi yang dibicarakan, tapi karena hati kami masih tertinggal di rumah Buya. Dalam diam, kami masing-masing menyimpan doa dan harapan, bahwa tahun depan kami masih diberi umur panjang untuk kembali mnjalang.
Di
tengah zaman yang serba instan dan digital, mamjalang Buya di Lubuk
Landur adalah pengingat bahwa ada nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu. Bahwa
kerinduan tak hanya bisa dituntaskan lewat layar, tapi lewat tatap muka, lewat
doa yang dilafazkan langsung, lewat tangan yang dijabat dan hati yang disentuh.
Dan selama masih ada orang-orang seperti Buya, dan mereka yang setia menjunjung
tradisi, maka Lubuk Landur akan selalu punya cahaya—cahaya kearifan yang
mengalir dari masa lalu, menyinari masa depan.
Komentar
Posting Komentar