Ketahanan Pangan di Pasaman Barat, Bukan Sekadar Wacana

 

Dalam beberapa bulan terakhir, Kabupaten Pasaman Barat menjadi perbincangan hangat, terutama setelah pemerintah daerah menetapkan langkah konkret untuk menjaga ketahanan pangan melalui penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Isu ini menjadi viral, bukan tanpa alasan. Dalam konteks global di mana perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan ketergantungan terhadap impor pangan semakin mengkhawatirkan, kebijakan ini layak diapresiasi sekaligus dikritisi secara sehat.

Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat, melalui Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, telah mengumumkan bahwa mereka menetapkan sekitar 7.804 hektare lahan sawah sebagai bagian dari LP2B. Tak hanya itu, pemerintah juga mengusulkan 9.390 hektare lahan tambahan sebagai bagian dari lahan pertanian berkelanjutan. Artinya, total lahan yang dilindungi dari alih fungsi bisa mencapai hampir 17.000 hektare. Ini bukan angka yang kecil, dan jika benar-benar terlaksana sesuai rencana, maka ini bisa menjadi langkah strategis dalam menjamin keberlangsungan hidup masyarakat dalam jangka panjang.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah hanya menetapkan lahan cukup untuk menjamin ketahanan pangan?

Tentu saja tidak. Perlindungan terhadap lahan pertanian hanyalah salah satu dari sekian banyak elemen dalam ekosistem ketahanan pangan. Tantangan nyata datang dari berbagai sisi: perubahan iklim yang menyebabkan musim tanam tak menentu, kerusakan irigasi, kurangnya akses petani terhadap pupuk, dan minimnya dukungan teknologi dalam praktik pertanian.

Satu hal yang patut diapresiasi adalah langkah Pemkab Pasaman Barat dalam memperbaiki dan merawat saluran irigasi tersier serta menggalakkan penggunaan pupuk organik. Ini bukan hanya soal meningkatkan hasil panen, tetapi juga menjaga kualitas tanah untuk masa depan. Jika irigasi berjalan baik dan pupuk yang digunakan ramah lingkungan, maka kita sedang berbicara tentang pertanian yang tidak hanya berkelanjutan secara ekonomi, tetapi juga secara ekologis.

Langkah lain yang perlu digarisbawahi adalah dorongan pemerintah untuk mendorong diversifikasi pangan lokal. Gerakan ini penting dan relevan. Masyarakat selama ini terlalu bergantung pada beras sebagai sumber utama karbohidrat. Padahal, Indonesia, termasuk Pasaman Barat, kaya akan komoditas pangan lokal seperti ubi, jagung, singkong, talas, dan pisang. Mengedukasi masyarakat bahwa “kenyang tidak harus dengan nasi” adalah bentuk revolusi kecil yang jika dijalankan konsisten, bisa membawa perubahan besar.

Hal ini bukan semata-mata soal selera atau tradisi konsumsi, tetapi juga bagian dari strategi memperkuat kedaulatan pangan lokal. Ketika masyarakat terbiasa mengonsumsi pangan lokal yang mudah dibudidayakan di wilayah sendiri, ketergantungan terhadap suplai luar daerah bisa dikurangi. Di tengah ancaman krisis pangan global, langkah ini bisa menjadi “perisai” yang menyelamatkan daerah dari krisis yang lebih besar.

Namun, semua kebijakan baik itu akan tinggal wacana jika implementasi di lapangan lemah. Dalam praktiknya, alih fungsi lahan tetap menjadi “penyakit menahun” yang sulit dikendalikan. Banyak petani yang tergoda menjual lahannya untuk dijadikan perumahan, pabrik, atau keperluan komersial lainnya karena tawaran harga yang tinggi. Di sinilah peran pengawasan dan penegakan hukum sangat penting.

Peraturan Daerah tentang LP2B memang sudah ditetapkan, tapi sejauh mana pengawasan terhadap pelaksanaannya masih perlu dikawal. Perlu ada keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, serta sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melanggar. Jangan sampai perda hanya menjadi dokumen tanpa daya paksa.

Selain itu, alokasi dana desa yang mencapai hampir Rp100 miliar pada 2025 dengan 20% di antaranya wajib digunakan untuk ketahanan pangan merupakan peluang besar. Program budidaya ayam, ikan lele, kambing, jagung, dan pemanfaatan lahan pekarangan harus diawasi dan didampingi secara berkelanjutan. Program ini jangan sampai hanya formalitas untuk menyerap anggaran tanpa hasil nyata bagi warga desa.

Apresiasi juga patut diberikan pada inisiatif edukasi yang dilakukan ke puskesmas-puskesmas, menyosialisasikan gizi seimbang berbasis pangan lokal. Jika tenaga kesehatan, guru, tokoh agama, dan tokoh adat bisa dilibatkan secara masif dalam kampanye ini, maka dampaknya akan lebih luas dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Namun, di tengah semua upaya ini, jangan lupakan bahwa petani masih merupakan kelompok rentan dalam rantai produksi pangan. Mereka sering terjebak dalam harga jual yang rendah, akses modal yang sulit, dan kurangnya perlindungan dari fluktuasi harga. Oleh sebab itu, kebijakan ketahanan pangan seharusnya juga menyentuh aspek keadilan ekonomi bagi petani.

Apa artinya produksi tinggi jika petani tetap hidup dalam kemiskinan? Ketahanan pangan sejati adalah ketika petani bisa hidup layak dari hasil kerjanya. Mereka tidak hanya jadi tulang punggung produksi, tapi juga pelaku utama dalam menciptakan keseimbangan antara produksi, konsumsi, dan kelestarian lingkungan.

Sebagai penutup, apa yang sedang digagas di Pasaman Barat sejatinya bukan hanya isu lokal. Ini adalah gambaran kecil dari pergulatan bangsa ini dalam merespons ancaman krisis pangan global. Jika langkah Pasaman Barat berhasil dan konsisten dijalankan, daerah ini bisa menjadi percontohan nasional dalam menciptakan sistem pangan yang tangguh dan mandiri.

Namun, kita semua memiliki peran dalam hal ini. Masyarakat, petani, pemerintah, tokoh adat, hingga generasi muda harus bersatu dalam menjaga bumi, menjaga tanah, dan menjaga sumber pangan kita. Karena sejatinya, perut yang kenyang adalah simbol kemerdekaan yang sesungguhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Ikan Larangnan Lubuk Landur: Warisan Kearifan Lokal Minangkabau dalam Konservasi Perairan

Berburu Takjil di Padang Sebabkan Kemacetan di Jalan Cendrawasih